Energi Negatif yang Membuat Anda Tidak Bahagia
Ketidakbahagiaan merupakan sebuah akibat dari energi negatif yang Anda terima. Energi tersebut masuk dan bersemanyam di bawah alam bawah sadar Anda sehingga Anda menjadi kerdil dalam kepribadian. Anton Pasariboe dalam bukunya “15 Energi Negatif Sumber Ketidakbahagiaan” mencoba menjelaskan tentang hal yang akan kita bicarakan. Supaya Anda lebih rileks dan énjoy dalam membacanya, tidak ada salahnya kita buat ini dalam beberapa bagian sehingga mudah bagi Anda untuk mencernanya.
Ups! Berhati-hatilah dalam bersikap! Bisa jadi Anda sendiri yang memproduksi energi negatif itu. Jika kita bisa mengolah apa yang kita terima dengan baik, melihat masalah secara komprehensif, yakinlah bahwa selalu ada jalan keluar. Ingat, hidup ini adalah lukisan Yang Maha Kuasa. Inilah energi-energi negatif yang membuat kita menjadi kerdil. Selamat menikmati sajian yang sudah kami olah ini. Olahan kami menambah cita rasa tanpa menghilangkan esensinya.
1. Kemiskinan
Jelas sekali di zaman yang serba uang ini tidak ada yang mau menjadi miskin. Namun, seringkali kita bingung bagaimana caranya untuk mendapatkan uang yang cukup, atau bahkan berlebih. Nah, di tengah kebingungan ini, kita mulai memproduksi energi negatif untuk mencari penyelesaian masalah, yaitu uang. Kita terkadang menuntut suatu kompensasi penyaluran, yaitu kemarahan dan emosional. Contohnya, jika kita tidak punya uang, kita mudah marah, mudah menyalahkan, mudah curiga, dan sebagainya. Jika kita sudah punya uang berlebih, kita selalu menyalahkan diri sendiri atau orang lain jika gagal mendapatkan proyek ataupun keuntungan yang jauh lebih besar.
Kemiskinan, pada setiap orang, haruslah dilawan. Tidak ada kata menyerah melawan penjajahan kemiskinan. Namun, harus disadari bahwa kita tidak bisa melihat pada diri sendiri untuk melawannya. Mengapa? Karena dalam kesendirian, kita mulai merancang tindakan dan jalan keluar. Memang tidak salah untuk memiliki ide pribadi yang membangun, namun kecenderungan kita, terutama pada saat sekarang, adalah mengasah rasionalitas jalan pintas. Dari sini mucul pesugihan, pencurian, penculikan dan sebagainya. Hati nurani pun mati.
Semua tindakan itu dimulai dari langkah-langkah kecil yang kita lakukan yang menempatkan pikiran dan perasaan bahwa kita benar. Merasa diri benar. Contohnya, karena keterbatasan ekonomi keluarga, pencurian yang dilakukan demi keluarga pun dianggap benar. Apakah seorang “Robin Hood” benar atau salah? Kita dapat melihat dari sudut pandang manapun, namun dalam realita situasinya tidak semudah cerita. Dengan kita merugikan orang lain, melalui jalan pintas, kita menghancurkan orang lain. Sebenarnya kita juga menghancurkan diri kita sendiri jika kita melakukan jalan pintas. Kita mempunyai nama jelek di komunitas ataupun masyarakat. Nurani kita tumpul untuk mengajari yang lebih muda ataupun anak-anak kita. Tidakkah Anda berpikir, bagaimana jika semua orang melakukan, katakanlah kejahatan, seperti yang kita buat? Bukankah jika semua orang melakukannya, kita sendiri adalah korban dan pelaku satu sama lain?
Lalu bagaimana? Tidak mudah melawan kemiskinan. Berjuang bersama saja kita masih kesulitan, bagaimana berjuang sendiri? Kita harus berjuang bersama-sama melawan kemiskinan. Jangan biarkan energi negatif akibat kemiskinan merusak hidup kita. Bagaimanapun caranya, jika kita berjuang bersama-sama di bidang industri, pertanian, pendidikan, koperasi, kita pasti bisa. Apalagi masyarakat kita adalah masyarakat yang religius, harapan adalah kekuatan dan jiwa dari perjuangan kita. Kita tidak boleh lepas dari harapan.
2. Kebencian
Kebencian adalah energi negatif yang menghancurkan hati nurani kita. Hati nurani kita, senjata kita untuk melawan kemiskinan sesama, menjadi buta. Yang Kuasa saja tidak membenci kita, mengapa kita harus membenci satu sama lain? Apa yang kita lakukan saja belum dapat “membalas budi” baiknya sang Kuasa yang sudah memberi kita kehidupan. Mengapa harus diperburuk dengan kebencian?
Ketidakcocokan satu dengan yang lain tidak perlu dibuntuti dengan kebencian. Kita bisa membuat pembatasan terhadap diri kita jika merasa tidak cocok terhadap suatu hal dan tetap menghormati apa yang ada pada orang lain. Memang tidak mudah, maka dari itu, kita membuat pembatasan. Kebencian membuat kita berlaku tidak sepantasnya kepada orang lain. Tindakan itu makin menjadi-jadi ketika kita ingin menolak situasi yang tidak kita senangi atau jika perasaan cinta dan ego kita diusik. Di dalam kebencian kita, kita gembira melihat penderitaan orang lain. Kita merasa menang! Lalu apa? Bukankah kita baru saja kehilangan “teman”?
Maka dari itu kebencian tidak perlu. Pembatasan yang jelas pun dapat kita buat kompromi satu sama lain. Ingatlah bahwa kita perlu teman untuk melawan kemiskinan kita, apapun itu, miskin harta, miskin iman, miskin harapan, dan bahkan “miskin” keuntungan, “miskin” popularitas, dan sebagainya.
3. Kesombongan
Tanpa disadari, kita memiliki pikiran bahwa orang lain memiliki derajat yang berbeda dengan kita. Seringkali kita menempatkan orang lain di bawah kita karena masalah SARA, kekayaan, almamater, jabatan, dan sebagainya. Kita merasa bisa seperti itu atas semua yang sudah kita kerjakan. Karena itu pantaslah jika orang lain yang “di bawah” kita penuh dengan keterbatasan. Sebaliknya jika kita menemui orang yang posisinya “lebih tinggi”, kita diam atau mencari muka.
Kesombongan kita mewujud dalam sikap kita secara tidak sadar. Dimulai dengan pikiran-pikiran bahwa kita berlebih, lalu tidakan, dan berakhir pada sikap batin, hati nurani. Jiwa kita menjadi kosong dengan aspek kemanusiaan, moral, dan iman spiritual. Kebencian pun mewujud.
Suatu tindakan yang bijaksana apabila kita tetap mengolah hati nurani kita. Secara religius, kita menjaga hubungan dengan Sang Pencipta dengan tetap berterimakasih atas apapun yang diterima. Secara duniawi, kita menjaga jarak yang “tetap dekat” dengan sesama kita. Bayangkan jika ada orang yang takut berhadapan dengan kita karena posisi, jabatan, kekayaan, atau apapun yang membuat dirinya kerdil, dia pasti akan diam saat bertemu dengan kita. Mengapa? Dia takut salah di hadapan kita, bahkan hanya untuk menyapa! Daripada dia membuat masalah dengan kita, lebih baik dia diam.
Lalu apa? Apakah mereka yang di “bawah” kita perlu dikasihani karena posisi kita? Mungkin, biarkan hati nurani yang berbicara. Sebenarnya kitalah yang perlu dikasihani atas posisi kita. Semakin ke atas, semakin sedikit teman-teman kita. Di antara teman-teman kita, yang “sederajat”, gengsi terjadi. Perasaan tidak mau kalah menang atas sosialitas kita. Di posisi puncak, kita merasa diri menang, namun sendirian. Muncul idiom seperti “Buat apa hati jika sudah kaya?”. Menyedihkan bukan? Inilah hasil dari energi negatif yang kita produksi sendiri, yaitu kesombongan.
Lalu bagaimana supaya tidak sombong? Kita sudah sering belajar dari generasi-generasi di atas kita untuk “selalu melihat ke bawah, jangan ke atas”. Mengapa? Fokus saat kita melihat ke atas adalah diri kita sendiri. Saat melihat ke bawah, fokus kita adalah tetap diri sendiri, namun ditambah orang lain. Lihatlah, bukankah kita mendapat “berlebih” dengan melihat ke bawah, yaitu diri sendiri + orang lain = komunitas? Kita coba seperti ini. Kita ini seorang manager. Kita tidak peduli dengan keinginan karyawan kita untuk adanya jam minum kopi. Kinerja menurun. Karyawan diam. Permasalahan di kalangan karyawan tidak terselesaikan karena mereka diam. Melihat mereka diam, kita pun mudah marah. Tragis bukan? Coba kita balik! Kita mengizinkan adanya jam minum kopi selama 5 menit. Mereka senang. Kinerja stabil, bahkan cenderung meningkat. Komunikasi terjaga, dan intensitasnya selalu meningkat seiring seringnya jam minum kopi bersama pimpinan mereka - kita. Masalah tersampaikan sehingga dapat diselesaikan. Berlebih bukan?
4. Kekhawatiran
Kita selalu merasa khawatir jika menemui permasalahan yang sulit. Kekhawatiran muncul ketika kita menemukan batasan kita. Kita lupa bahwa kita punya akal budi, hati nurani dan bahkan teman. Kita berfokus pada masalah, bukan pada solusi. Karena itulah yang kita dapatkan adalah masalah, bukan solusi.
Think out of the box! Kita sering mendengar ini. Lalu apa? Terserah kita! Kita dapat membiarkannya sebagai ungkapan. Namun, kita juga dapat menempatkannya sebagai solusi. Ingat, kita punya pikiran, hati nurani, teman dah bahkan Tuhan yang dapat membantu menyelesaikan masalah kita. Sama seperti mobil, kita merasa rugi jika tidak terpakai bukan? Jika kita sanggup “berpikir” (bukan sekedar menggunakan pikiran namun segenap hati nurani, iman dan pikiran teman) secara strategis, selalu ada solusi. Khawatir bisa kita tindak secara positif.
Kekhawatiran adalah netral. Yang menjadi negatif adalah manifestasi kita, ketakutan. Maka dari itu, kekhawatiran harus ditindak secara positif. Kekhawatiran adalah sahabat kita. Jika kita tidak pernah khawatir, kita menjadi kurang peka, bahkan tidak. Namun, jika kita khawatir dan itu ditindak secara positif, kesuksesan pun datang. Perlu juga disadari bahwa kesuksesan kita bukanlah semata-mata karena pikiran atau faktor manusiawi kita. Jika kesadaran itu tidak ada, maka kita pun menjadi sombong. Kita pun lupa akan Tuhan! Ukuran kita menjadi ukuran yang semata-mata duniawi dan menyampingkan aspek iman dan sosial. Maka, kita harus seimbang, dunia dan iman.
Sabtu, 02 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar