
Bangga, sebagai orang Nias bisa melayani orang Nias sendiri. Kebahagiaan itu meretas di dalam rumah dinas dari papan kayu 6 meter x 12 meter beratap seng. Pilihan hidup Rina, panggilan akrab perempuan 46 tahun itu, tidak seperti dokter spesialis kebanyakan.
Nias yang terisolasi secara geografis bukanlah
Kewajiban memberi pelayanan kesehatan tak terbatasi waktu. Apalagi, Nias baru saja dilanda bencana tsunami dan gempa. Kebanyakan orang Nias sakit tuberkulosis (TB) dan anemia. Setiap hari, sedikitnya
Kewajiban yang begitu besar memang tidak sebanding dengan pendapatan yang dia terima. Meski penghasilan bersih Rina hanya Rp 3,8 juta per bulan, itu tidak membuat dia merasa kekurangan. Pendapatan itu sudah cukup membahagiakannya.
Dari uang itu, paling tidak Rp 1,2 juta setiap bulan pasti dia belanjakan untuk pergi ke Medan menemui suami dan anaknya. Belum termasuk biaya komunikasi via telepon dengan keluarganya.
Pendapatan Rina jauh lebih kecil dibandingkan dengan insentif seorang dokter magang sebuah universitas terkemuka yang sengaja didatangkan ke Nias untuk mengisi kekurangan dokter.
Amanat orangtua
Bertugas di Nias mempunyai arti khusus bagi Rina karena merupakan amanat orangtuanya, Sozanolo Dachi (almarhum). Ayahnya menginginkan Rina mengabdi di Tano Niha (tanah Nias). Maka, sejak 2001 dia menjadi satu-satunya dokter spesialis penyakit dalam di pulau itu.
Tahun 2001, sahabatnya yang juga Wakil Bupati Nias Agus H Mendrofa menemuinya di
Apa yang dia lakukan selaras dengan nama pemberian orangtuanya. Kanserina Esthera berarti "ibu harapan pembela keadilan". Begitulah kira-kira harapan orangtuanya kepada Rina.
Sebelum ke Nias, perempuan yang lahir di
SD sampai SMA dia jalani di Belawan,
Pengalaman tugasnya hampir seluruhnya dia jalani di
Korban gempa
Meskipun juga menjadi korban gempa pada 28 Maret 2005, bukan berarti dia libur bertugas di Nias. Pada saat gempa, rumahnya terbelah jadi dua, lantainya ambles. Namun, Rina tetap memberikan pelayanan bagi korban gempa. Bahkan, sampai sekarang pun rumahnya belum direhabilitasi.
Dia sempat mengoperasi korban gempa yang kepalanya robek tertimpa reruntuhan bangunan. Saat itu tenaganya sungguh berarti karena pertolongan medis pertama baru sampai 21 jam setelah bencana terjadi.
"
Masa sulit itu justru membuat dia berkesan. Itu tidak membuatnya kapok bertugas di Nias. Dukungan dari suami dan dua anaknya merupakan semangat terbesar.
"Suami saya tidak pernah meminta saya kembali ke
Sebulan sekali Rina pulang untuk bertemu keluarga di
Belum terlaksana
Suatu hari, orangtuanya pernah berpesan agar dia nanti bertugas di RS Lukas, Nias Selatan. Rumah sakit yang terletak sekitar 90 kilometer dari Gunungsitoli itu pada tahun 1960-an merupakan rumah sakit termodern di Nias. Bahkan, sebagian peralatan medisnya tercatat paling bagus di seluruh RS di Sumut.
Rumah sakit yang didirikan di atas tanah kakeknya itu merupakan bantuan misionaris Jerman yang kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah. Belakangan, RS itu bukannya bertambah maju, malah semakin mundur dan " turun" status menjadi puskesmas.
Bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Perwakilan Nias untuk RS itu terkendala persoalan ego sektoral.
Kanserina sedih. Persoalan itu menghambat pengembangan rumah sakit satu-satunya di Nias Selatan. Baginya, pindah dari Pulau Nias merupakan pilihan yang sulit. Satu sisi, dia ingin dekat dengan keluarganya, satu sisi dia ingin memenuhi amanat orangtuanya yang belum terlaksana. "Saya sulit menjawab, antara ya dan tidak," katanya saat ditanya soal kemungkinan pindah dari Pulau Nias.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar